Monday, April 23, 2007

Malam

bertanyalah pucuk cemara

pada bulan yang terus berkelana:

siapa saja sebenarnya yang diam-diam

- dengan kesetiaan

dan dari kejauhan –

tidurnya kauperhatikan

dan selalu kaujaga?



Sajak Selamat Pagi

kalau kuucapkan selamat pagi padamu, pagi ini kau berada di negeri yang tak terjangkau dan aku berdiri di negeri yang selalu baru saja terjaga dari tidurnya yang tak pernah nyenyak

dan kalau kuucapkan selamat pagi padamu, pagi ini kau berada di negeri yang tak terjangkau dan aku bisu termangu berpikir apakah mimpi-mimpi dapat diulangi dan diulang berkali-kali

aku berpikir apakah aku seharusnya berbahagia atau sebaliknya tidak berbahagia ketika pagi tiba dan cahaya matahari menjilati semua sisa mimpi yang masih ada dan aku mengucapkan selamat pagi padamu

di sana, di negeri yang barangkali ada barangkali tak ada

barangkali kau juga sedang berkali-kali menggosok-gosok mata

bisu termangu dipermainkan rasa percaya dan rasa tidak percaya

yang tak dapat dirumuskan ke dalam kata-kata

Labels:

 
posted by ar-marsha at 9:15 AM | 3 comments

Sabda tak terhingga, aku menyebutmu hingga lingkaran malam menjentikkan kilatan pagi yang datang sebentar lagi. Malam tadi demikian sepinya. Sudah usang hari-hari indah kita, kau jua yang telah berkata. Semuanya menjadi abu tanpa api, ditinggal kereta yang akhirnya beranjak pergi. Dedaunan hijau di pagi yang cerah ini belum cukup meredakan pedih karenamu. Aku masih terus menangis.

Sebentar lagi kereta ini akan berhenti. Itukah dirimu yang menantiku? Rasanya tidak mungkin setelah rasa sakit yang kau tusukkan ke lambungku kau akan kembali seperti dulu. Ini hanya melodi. Ini hanya pelarian diri.

Nadiku berteriak, meradang, menagih kebersamaan menentramkan detaknya. Dan rasanya tak mungkin mengganti bidadari dengan seorang manusia, dan ternyata bidadari pun mampu mematahkan hati seorang pria. Tidak seperti dongeng-dongeng di mana semua cerita berakhir dengan bahagia yang abadi. Jalan realitas yang semakin menanjak, dan aku, telah nyata harus menempuhnya.

Labels:

 
posted by ar-marsha at 9:13 AM | 0 comments

maRsha

Hi, my name is Marsha…

Gadis kecil berambut ombak dengan pantulan mata bening yang menggemaskan. Setidaknya itulah gambaran yang masih terekam di benak saya tentang seorang Marsha. Berkenalan dengannya di sebuah sore menjelang malam, kami hanya butuh waktu beberapa jam saja untuk menjadi teman. Pakaiannya kala itu menyerupai sebuah gaun, yang jika hari ini saya mengenangnya maka akan membuat saya membayangkan seorang putri raja di sebuah pesta dansa.

Marsha, putri yang kukenal tanpa disengaja dan sungguh sangat tidak terencana itu selalu saja riang. Okelah, dia kadang-kadang menangis juga. Tapi apa yang tidak pernah bisa saya lupa adalah secarik kertas yang di atasnya terpeta hasil jemari tangannya, sebuah gambar sepasang anak kecil, aku dan dia. Sekarang kertas itu entah ke mana, saya hanya bisa mengingat-ingatnya saja.

Marsha, seorang putri cantik yang menyembunyikan kenangan. Hanya sebulan setelah perpisahan kami, ia benar-benar pergi, dan kali itu, untuk selamanya.

diandRa

Pulang sekolah, nah? Saya tunggu di pagar depan...

Apa yang dengan indahnya menjamah masa remaja kita? Itulah cinta pertama. Dan saya mendapatkannya ketika 14 tahun usia, mengakrabi hari-hari yang manis bersama balutan romansa muda. Rasa-rasa lelah di saputan senja, gerimis demi gerimis yang lalu mengakrabkan jiwa, adalah memori indah yang pernah tercipta bersama seorang Diandra. Apa yang dimulai dengan persahabatan, lalu puluhan sayap pertemuan yang mengembang, membawa tinggi ke angkasa luas kasih sayang.

Berbulan-bulan yang menyenangkan, lalu tanpa alasan yang ketika itu bisa kumengerti, ia pergi begitu saja, bahkan tanpa sebuah pesan. Dan semua yang terjadi setelahnya, terlalu menyedihkan jika harus kembali kutuliskan...


bersambung...

 
posted by ar-marsha at 9:09 AM | 1 comments
Saturday, April 21, 2007

Aku mencintainya dengan sentuhan tak kentara

Kulalui sepinya malam panjang, dialah yang ada

Kecantikan bulan di atas jembatan, dialah yang merona

Telusup persahabatan di penghujung petang

Dan aku, menundukkan pedihnya pandang


Apa yang dimulai dengan ritme yang pelan

Melahirkan kedamaian

Jiwa yang duka oleh kejamnya perasaan

Padam, nyaman teredam


Aku mencintainya dengan sentuhan tak kentara

Malam yang menyepi

Dan dia, akan selalu ada


Menutup singkatnya pertemuan

sebuah episode petang

bersamanya...

Ar-marsha

19 April 07

Labels:

 
posted by ar-marsha at 10:16 AM | 0 comments

TIGA DEWI DAN SEORANG LELAKI


27 maret 2007, hari yang biasa saja bagi kebanyakan orang. Hari itu tidak ada sesuatu yang mengguncangkan, mengundang berita, atau bahkan begitu membahagiakan. Itu adalah hari yang biasa saja, hari ketika matahari bergerak dalam ritme yang biasa, angin bertiup dan ombak meletup. Semuanya biasa-biasa saja. Kecuali, bagi seorang lelaki.

Lelaki itu bernama Sunyi. Seorang lelaki pemurung, yang menikmati kesendirian sebagai satu-satunya yang bisa ia nikmati. Dan tiga sosok dewi datang menyapanya hari itu, mengajaknya sejenak meninggalkan sunyi dan bergerak menyusuri sisi-sisi indah bumi. Sentuhan cinta yang Sunyi tak pernah mengerti, seberapa bermaknakah bagi tiga dewi baik hati itu. Detik-detik di mana nafas yang ia hirup tidak pernah demikian menghidupkan, demikian mendalam.

Petir, angin, dan hujan. Tiga dewi itu mengurung Sunyi dengan sentuhan persahabatan. Lantas dengan berakhirnya episode pantai di suatu malam, Sunyi merasakan bahwa sungguh, dunianya tak lagi sesunyi kemarin. Ia tahu, tiga dewi akan selalu ada di dekatnya. Bahkan jika pun mereka harus terbang menjauh, benak Sunyi tetap saja akan ramai hanya dengan mengenang mereka.


Hamburg Song

Mengingat lagi senja itu... dan menyambut hari-hari sepi

Saat tiga dewi akan segera pergi

20 April 2007


Labels:

 
posted by ar-marsha at 10:09 AM | 0 comments

Jum'at, 20 April 2007

Hidup ini lintasan waktu yang misteri. Bagaimana menghabiskannya atau entah dengan cara apa menikmatinya, toh segalanya akan berakhir di satu titik: kematian. Dan misteri pun menjadi bagian dalam banyak hal yang berkaitan dengan hidup, termasuk kematian itu sendiri. Demikian apik Tuhan menyembunyikan kematian itu dari manusia-manusia yang pasti akan mengalaminya, hingga sebagian besar dari mereka akhirnya ditenggelamkan di jalur yang tak terbaca oleh pengetahuan. Kematian menjadi semacam mafia yang tak lagi ditakuti keberadaannya; kematian adalah seekor predator berbahaya yang tidak diwaspadai si calon mangsa.

Dan hidup ini terus berjalan dalam rentetan ketidakpastian. Kita menjejakkan kaki menjauhi kediaman di setiap pagi hari menjelma, lantas mengarungi deru dunia dengan harapan bisa mengambil secarik manfaat dari lembar-lembar keentahannya. Kita tidak pernah menyadari betapa segala apa yang akan dan telah kita dapatkan itu pun hanya menunggu waktu untuk diambil kembali dari pelukan, hanya sebuah kendaraan yang dititipkan sang empu kepada tukang parkir yang sibuk berpeluh di hari-hari yang tandus dan keras.

Ketika memandang wajah seorang rekan yang tubuhnya putih dibalut kain kafan, saya teringat motivasi hidupnya yang aneh: ingin menjadi seseorang yang namanya akan selalu dikenang, menjadi buah bibir di segala kalangan dengan penuh kekaguman. Ngeri saya menyaksikan wajahnya yang tidak lagi sesumringah biasanya. Ya, inilah akhir dari semua manusia, akhirnya hanyalah seonggok mayat yang tak berdaya menanti ketidak pastian persinggahan berikutnya, hingga berakhir di keabadian yang lagi-lagi hanya misteri.

Labels:

 
posted by ar-marsha at 10:07 AM | 0 comments

SEMUA YANG TERLAMBAT


Aku hanya sinar yang melintas sekedip

Bagai kunang-kunang kecil

Dan engkau sayap-sayap yang meranggas

Seusai sekepak kau mengudara

Membawa hatiku semua


Kita ialah kata yang terlambat tercipta

Dan semestinya tak terjadi

Dan cinta ialah rasa yang pertama dan terakhir

Tuk merangkum kerinduan, kepasrahan dan maafku


Tuk semua yang terlambat kulakukan

Tuk semua yang tak sanggup kujanjikan

Tuk semua...


Lama kucoba memandang jejak kaki kita

Tanpa sesal

Menerimamu tanpa aku mengerti

Indahnya arti hari ini

Tanpa harapan tuk kembali


Kesemua yang tak sempat kuungkapkan

Kesemua yang tak tepat kukatakan

Yang tak usai kujalani

Yang tak ingin kuingkari

Dan semua...

Dan semua...


Labels:

 
posted by ar-marsha at 10:03 AM | 0 comments

Senin, 22 Januari 2007

Rupanya memang berat hidup itu, utamanya jika kita semakin beranjak dewasa. Tanggung jawab bertambah seiring usia, begitulah ayah saya pernah berbicara di suatu sore. Neverland memang hanyalah semua legenda. Kita tak akan pernah selamanya menjadi anak-anak, yang berlari bebas di sore hari selepas sekolah. Kita tak bisa lagi mengandalkan mereka yang lebih tua, karena kita sendiri rupanya sudah cukup tua untuk bisa diandalkan. Uang tidak lagi datang dengan sendirinya, tapi harus diperjuangkan dengan segenap tenaga, perasan keringat, bahkan tak jarang harus menumpahkan darah.

Terus terang saja, saya masih sering berkhayal memiliki harta demikian banyaknya sampai-sampai saya tidak perlu bekerja seumur hidup saya. Semua yang tersisa dari umur saya yang masih ada tinggallah membangun sebuah keluarga, memiliki anak-anak yang menyenangkan, memenuhi semua impian, dan mati dalam ketenangan. Mimpi ini menurut saya sah-sah saja. Toh tak ada orang lain yang saya rugikan dengan mimpi ini. Lagipula mimpi itu gratis, satu-satunya mungkin yang tak perlu saya bayar di dunia ini. Lagipula saya tidak punya cukup dana untuk mencari alternatif hiburan lain. Dan mimpi, untung saja, bisa mengakomodir kebutuhan yang satu ini dengan demikian mudahnya.

Kita mau tidak mau harus berterima kasih pada sejarah yang memberi kita kuliah gratis tentang kehidupan. Seluruh pencapaian-pencapaian besar dalam sejarah hidup manusia merupakan buah dari pohon ambisi. Dan di manakah pohon ini bisa tumbuh? Tidak lain dan tidak bukan, bibit pohon ini hanya bisa tumbuh di lahan-lahan mimpi. Tanah yang disediakan gratis oleh Tuhan, yang sayangnya hanya berani digarap oleh sedikit orang di dunia ini. Itulah kenapa kita hanya bisa mengenal sedikit orang-orang dalam catatan sejarah yang bernyali memenuhi undangan yang disebarkan Tuhan dengan merata ini. Sejarah mencatat hanya sedikit manusia-manusia pemimpi. Apa yang terjadi dengan jutaan manusia lainnya? Buku sejarah bukannya tak cukup kertas untuk mencatat semua nama itu. Kenyataannya adalah mimpi menghinggapi banyak orang, tapi hanya satu dua yang berani benar-benar bergerak. Mereka yang rela berpeluh, memendam keluh kesah, karena mereka tahu bahwa sesuatu telah menanti mereka di ujung perjalanan. Itu adalah buah kehidupan, yang meranum di pohon ambisi, dan tumbuh di lahan-lahan mimpi.

Karena itu lihatlah, telaahlah lebih jauh apakah anda telah memiliki sebuah mimpi untuk diraih, mimpi untuk dikejar. Ingatlah, mimpi adalah bibit hidup anda, benih semua kesuksesan anda. Tanpa mimpi, sebuah pencapaian bukanlah pencapaian, melainkan semata keberuntungan.


Jum’at, 26 January 2007

Semua orang mafhum dengan rangkaian tradisi di awal-awal perkuliahan. OPSPEK, MAPRAM, atau apalah namanya, selalu saja menjadi buah bibir mereka yang baru saja lulus SMU dan segera akan jadi seorang mahasiswa. Di atas kendaraan umum ketika itu saya berjumpa dengan calon mahasiswa lainnya yang dengan segera kami mengobrol akrab. Mungkin karena perasaan yang sama, keawaman tentang apa yang akan segera menimpa beberapa kilometer di depan. Di masa itu memang masih kental budaya kekerasan setiap kali orang-orang ’segar’ memasuki kampus. Seorang senior saya di SMA pernah menceritakan alasan mengapa ia sempat dirawat tiga hari di rumah sakit.

Dan memang apa yang terjadi tidaklah jauh-jauh dari apa yang saya dan teman baru saya itu bayangkan. Begitu sampai saja kami sudah disuruh jongkok, sedikit ’hukuman’ karena rupanya kami datang terlalu cepat satu menit. Dan setelah waktunya tiba, kami disuruh merangkak di bawah susunan kursi yang diatur sedemikian rupa sehingga hanya menyisakan sedikit ruang bawahnya yang hanya cukup dilewati seekor anjing. Apa yang terjadi sesudahnya tidaklah cukup pantas untuk saya ungkapkan. Sekitar sebulan kemudian di sebuah prosesi lanjutan, saya bahkan harus mendekam semalaman di ruang medis akibat ulu hati saya ditendang seseorang. Sampai sekarang pun saya tak pernah tahu kaki siapa yang pernah mendarat di tubuh saya.

Ketika kita memasuki sebuah lingkungan baru, kita memang tak pernah tahu apa yang akan terjadi. Kadang-kadang cukup mendekati apa yang kita harapkan, tapi sering yang muncul adalah kejutan-kejutan. To life is to discover, begitu seorang teman petualang saya pernah berkata. Dunia ini penuh dengan banyak hal yang tidak kita ketahui. Dan sesuatu itu bukannya tak ada, hanya saja kita yang belum menemukannya. Sebelum Marcopolo melakukan penjelajahan, orang-orang Eropa begitu yakin bumi ini adalah bangunan yang datar sedatar sebuah papan. Galileo bahkan sampai dihukum mati gereja hanya karena meyakini hal baru yang sama sekali asing itu. Itulah kenapa Bahasa Inggris menggunakan kata ‘dis-cover’ yang secara literal berarti ‘membuka selubung’. Sesuatu itu seringkali sudah ada, hanya saja kita yang belum menemukannya.


Kamis, 01 Februari 2007

Saya memandang lurus dan teliti pada hujan yang turun. Saya perhatikan, semakin lama awan tebal itu semakin menipis. Hujan pun tidak lagi sederas beberapa menit yang lalu. Tapi udara tetap saja begitu menggigit.

Hmm, sedang apa ya wanita yang satu itu? Lama sudah saya tidak mendengar kabarnya, setidaknya cukup lama sampai membuat malam-malam saya dipenuhi insomnia hanya karena melamunkannya. Dan sore ini, di tengah gemuruh langit dengan sekelumit awan yang menangis, apa yang disebut rindu itu semakin menjadi-jadi.

Dulu, ketika benang-benang kebersamaan itu masih begitu ketat, hujan adalah suasana yang melingkupi hampir semua percakapan kami. Ketika diawali pertemanan di sebuah dusun yang jauh, keterjalinan itu sungguh tidak terduga menjelma keakraban hingga hati kami pun saling terkait dan mengutarakan apa yang disebut oleh anak-anak jaman sekarang sebagai cinta. Tapi itu dulu. Hari ini semuanya masih berlaku untuk saya. Jejak-jejak itu masih menggenangkan hujan di batin saya. Tapi masihkah ia merasakan yang sama?



Jum’at, 23 Februari 2007

Setiap orang punya peta harta karunnya sendiri. Banyak yang sudah membacanya, lalu bergerak mengarungi waktu yang panjang sebelum akhirnya menemukan harta itu dan akhirnya hidup bahagia. Saya mengenal banyak manusia-manusia ”penemu” itu. Beberapa bahkan saya kenal dengan baik. Mereka bercerita, lalu mulai memenuhi benak-benak saya yang nyaris kosong itu dengan bintang-bintang yang berpijar di laut jauh. Malam yang kejam itu mendadak berubah ramah.

Saya menemukan kembali banyak waktu yang hilang di masa lalu hanya dengan mendengarkan kisah-kisah mereka. Waktu yang saya gunakan untuk berkhayal, akumulasi detik ketika saya menyalakan komputer dan menghabiskan berjam-jam melahap sejumlah permainan, bundel-bundel sejarah yang selalu membuat saya menyesal kenapa harus menukarnya dengan ketiadaan pada apa yang seharusnya tercapai hari ini.

Saya seringkali diberitahu, bahwa hidup adalah serangkaian masalah yang dihimpun dengan temali pernafasan. Itu berarti, hidup hanyalah perpindahan dari satu cobaan ke cobaan yang lain. Satu waktu, ujian itu adalah tangis. Tapi di waktu yang lain, kebahagiaan kitalah ujian itu. Tapi apa yang tidak bisa saya terima hari ini adalah, bahwa ternyata dahulu saya tidak pernah benar-benar berusaha. Saya kan tidak bisa sekedar mengatakan, kalau saya hari ini adalah sebuah wujud unrejected destiny, sementara manusia yang lain sampai berdarah-darah sebelum sampai di pelabuhan mimpi.

Saya, terus terang saja, menghabiskan begitu banyak kesempatan dalam hidup hanya untuk menjadi seorang yang fatalis. Hidup ini toh tidak abadi, dan besok mungkin saja saya sudah mati. Lantas apalagi yang tersisa untuk diusahakan? Dunia menjadi rangkaian jalan yang tidak lagi menarik. Tahun-tahun itu adalah serangkaian dark ages, masa yang mungkin paling kelam dalam hidup saya. Saya benar-benar kehilangan arah ke mana layar kehidupan ini harus diarahkan.

Hari ini berarti, besok mati. Saya lantas berpikir sebaliknya. Kalau besok mati, buat apa memberi arti hidup hari in?. Seorang teman menjawab, ”yang mati kan tubuhmu, tapi arti yang kau buat hari ini akan membuatmu dikenang hingga ribuan tahun lagi”. Saya tersenyum saja sambil menjawab, “lantas manfaatnya apa? Saya toh sudah mati. Apa ribuan sanjung puji atas karya kita hari ini akan kita nikmati di liang kubur yang sempit nanti?”

Hah, saya lantas teringat. Hidup sesudah mati. Ya, berita-berita gaib itu lantas kembali menaungi benak saya. Hidup sesudah mati. Hidup yang abadi. Hidup yang bukan untuk berjuang, tapi hanya untuk dinikmati. Saya lantas mengangguk-angguk sendiri. Ya, inilah jawabnya. Karya terbaik kita di dunia ini adalah untuk hidup abadi yang satu ini. Capek-capek menghabiskan seluruh tenaga dan biaya untuk mengejar hidup di dunia hanyalah panggilan mimpi kosong, itulah yang bisa saya simpulkan. Kalau kamu akan pergi ke Bandung, kamu tentu tidak akan mempersiapkan bekal yang sama banyaknya dengan bekal yang kamu persiapkan kalau kamu akan pergi ke Amerika. Dunia ini, berapa lagi sisanya untuk kita? Sepuluh-dua puluh tahun? Lima puluh tahun? Atau malah besok pagi kita sudah dipanggil?

Hakikat fatalis sebenarnya bukanlah hal yang buruk-buruk amat. Analoginya mungkin tepat dengan mengibaratkannya sebagai bumbu rahasia dalam sebuah masakan. Takarannya tepat, dan anda akan menyulap sebuah warung jalanan menjadi rumah makan terlaris di tengah kota. Takarannya berlebih, lihatlah yang terjadi dengan saya. Yah, saya rupanya bukan koki yang cukup handal untuk meramu bumbu hidup ini. Antara fatalis dan takabur, inilah masalah yang akhirnya baru saya mengerti akhir-akhir ini, bahwa kita harus benar-benar mampu memetakannya dengan titik koma yang jelas. Menjadi nrimo dapat menolong anda menghadapi banyak kegentingan tak tersolusikan dalam hidup. Saya kira kita harus mengakui, kita hanya bisa menyelesaikan sedikit saja masalah dalam hidup. Sisanya? Ya, serahkanlah pada konsep nrimo itu. Solusi stok udara buat pernafasan? Jatah umur yang lebih lama agar bisa nimang cucu? Anda tentu tak bisa berkata apa-apa selain pasrah saja.

Ups, saya lupa. Saya belum bercerita, apakah puluhan tahun yang panjang ini sudah membuat saya menemukan ’harta’ saya. Hmm, sayangnya, saya harus menjawab,: belum. Bahkan untuk memiliki petanya saja, saya masih harus mencari di tumpukan lembar sejarah hidup saya yang tak terawat itu. Beberapa buku mendekam lama tak terawat membuat saya merasakan tebalnya debu yang membuat jiwa saya sering batuk. Beberapa hari yang lalu beberapa teman kembali mengabarkan penemuan harta karun mereka, yang memaksa saya memendam cemburu yang dalam, sebelum akhirnya bisa dengan lapang mengucapkan: ”selamat”.



Selasa, 06 Maret 2007

Finally, got to the end...

Hari ada sebuah berita duka. Adik almarhum kakek saya, seorang nenek yang meskipun jarang sekali bertemu tapi saya toh sangat sayang padanya, dikabarkan sedang sekarat. My heart was suddenly in a rush by reading that short message. Yup, inilah hal yang mau nggak mau bakal kita alami juga suatu saat. Thanks to ALLAH for still giving me a chance for a life fulfillment, still even a few time for self-recovery from these darkest world.

………………………….


Tidak banyak yang ingin saya raih di dunia ini

Hanyalah sebuah pikiran sederhana tentang hidup bahagia, tenang, kelengangan di masa tua

Saya tidak ingin jadi profesor

Saya tidak ingin jadi seorang dokter

Saya enggan meracau tentang bencana, politik dan busung lapar

Saya ingin kesederhanaan itu memeluk saya

Membawa saya jauh ke dasar samudera

Mengembangkan insang dan mulai bernafas di hela kedalaman

Hanya saya...

Dan semua cinta yang setia menyertai saya...


Ar-marsha

April 5th, 2007


Minggu, 08 April 2007

Selalu saja ada perasaan aneh ketika kita akan melakukan sesuatu untuk pertama kali. Yah, pertama kali ke satu tempat yang asing bisa bikin kamu tersesat. Lantas apa jadinya kalau yang pertama kali itu adalah seporsi makanan?

Sejak dulu saya selalu didoktrin dengan ketidaksukaan luar biasa ayah saya pada makanan khas daerah Jeneponto yang bernama coto kuda. Tentang bagaimana selera makan ayah saya berubah 180 derajat ke arah hendak muntah, adalah kisah yang nyaris selalu beliau ceritakan setiap kali mendengar kata ”kuda”. Tapi rupanya rasa penasaran mengalahkan segalanya. Semangkuk daging berkuah, yang meskipun tidak lagi hangat, tersaji tepat di hadapan saya ketika saya sedang dalam kondisi lapar-laparnya. Jadilah, sesendok, dua sendok, sampai akhirnya mangkuk itu hanya terisi sisa-sisa kuah yang tak sanggup lagi saya masukkan ke perut.

Rasanya? Yaaaah, nothing so special. Terlalu biasa untuk dikatakan luar biasa. Dan juga tidak ada rasa jijik yang digambarkan demikian ilustratif oleh ayah saya. Hmm, ini mengingatkan saya pada perkataan Bondan Winarno, si biangnya ma’nyus, bahwa selera memang urusan individual. Saya sendiri tidak bisa membayangkan bagaimana orang-orang Medan (ini katanya, lho..) menyantap anjing. ”Nganjing yuk!” istilah yang dipopulerkan kakak saya, mengajak saya menyantap anjing bakar, yang tentu saja hanya sebuah kelakar.


Kamis, 12 April 2007

Tidakkah kau tahu?

Seringkali tangismu

Justru jatuh dari mataku

Di lantun yang jauh mata mengerjap

Lalu hadirmu hilang sekejap





Labels:

 
posted by ar-marsha at 9:52 AM | 0 comments
Friday, April 20, 2007

Aku sejengkel dari lautan

Dan itu, butuh waktu beberapa zaman

Tahun-tahun mendekam

Lintas-melintas di hantaran

Aku sejengkal dari lautan

Dan itu, sudah cukup melegakan

Akhirnya, aku memandangmu lagi

Ar-marsha

27 Maret 2007

Labels:

 
posted by ar-marsha at 8:45 AM | 0 comments

Kalau ada tempat yang paling sering saya singgahi untuk bolos kuliah, lalu melakukan segala macam hal mulai dari yang sangat bermanfaat sampai yang bernilai minus, maka itu adalah kamarnya Ali. Ya, Muhammad Ali Sastroamijoyo, pria 24 tahun yang saya kenal sejak awal menjadi mahasiswa, kabarnya besok akan segera meninggalkan kota ini karena gelar sarjana sudah ia raih dan rasa rindunya untuk menghirup lagi udara Jakarta, kampung halamannya, sudah tidak terbendung lagi.

Laki-laki dengan logat jakarte-nya yang tidak pernah hilang ini sudah menghabiskan bertahun-tahun lamanya menuntut ilmu di Makassar. Dan ia adalah pelengkap komunitas kami dengan personalitasnya yang khas. Periang, helpful, debtful, dan selalu membawa kelucuan. Ia adalah teman yang tidak pernah (atau mungkin merasa tidak enak) sewot kalau saya menjambangi kamarnya yang mungil, meskipun seringkali tanpa buah tangan apapun di tangan saya.

Saya selalu betah berlama-lama di kamar yang dindingnya dipenuhi tempelan-tempelan quote dari orang-orang ternama itu. Bagian atas lemarinya terisi penuh dengan buku-buku, mulai dari buku-buku kuliah, sampai yang berbau ruhaniah. Dan jika saya sedang tidak bergairah mengutak-atik isi komputernya, maka buku-buku itulah yang menjadi santapan saya.

Tapi sebagaimana lazimnya sebuah kamar kost, suasana kamar itu besok tidak mungkin lagi saya dapati. Seperti yang saya katakan di atas, Ali sudah akan pulang, dan kali ini bukan untuk liburan. Ia benar-benar akan pulang, seperti pulangnya seorang jamaah haji dari tanah suci. Mungkin dalam waktu yang lama, atau bahkan selamanya, ia tak akan kembali lagi.

Labels:

 
posted by ar-marsha at 8:16 AM | 3 comments

Hari itu seorang sahabat telah pergi. Pagi-pagi sekali, dan saya sudah terbangun dengan sekelumit perasaan tidak enak yang menemani perjalanan pendek yang terasa demikian panjang ke kamar mandi. Saya mencuci muka, mengembalikan kesadaran saya setelah perjalanan panjang menempuh langit-langit malam. Ya, hari itu seorang teman lagi berlalu dari kehidupan, dan entah kapan bisa bersua lagi.

Puluhan doa untuk mengantar kepergiannya tak pernah terasa cukup untuk menghapus sedih ini. Perbincangan sekedarnya lewat tulisan-tulisan dengan nada kesedihan, sepenggal kata selamat tinggal sebelum waktu itu datang dan takdir pertemuan kami benar-benar harus berakhir.

Apa yang disisipkan Tuhan dalam sebuah perpisahan? Ya, tahun-tahun yang panjang yang diisi dengan kebersamaan itu terasa begitu singkat hari ini. Tahun-tahun yang dipenuhi kegembiraan, dengan perasaan nyaman dengan keberadaan seorang sahabat yang menenangkan jiwa, bahkan tahun-tahun menyedihkan yang diisi kesalahpahaman, bumbu-bumbu pengkhianatan yang lalu luluh oleh tulusnya maaf dan keikhlasan. Benar-benar sebuah kurun waktu sederhana yang, semoga saja, tidak akan pernah diambil Tuhan dari tangkupan kenangan kita.

Tuhan Yang Maha Pemurah, ke mana lagi kami akan menangisi kesedihan ini? Waktu yang Engkau berikan untuk kebersamaan yang akan berlalu ini tidaklah mungkin terganti dengan kebersamaan-kebersamaan yang lain. Engkaulah pemilik waktu, dan kebijaksanaan-Mu lah yang membuat kami berfikir, bahwa hari ini adalah sebuah hari yang memang harus terjadi. Melangitnya doa untuk sahabat, menjadi satu-satunya pertanda masa-masa panjang kenangan yang akan terus berjalan, terjaga dalam tangkupan zaman dan kehidupan. Kau dan aku rupanya tidak diberkahi dengan kesempatan yang terlalu banyak untuk sebuah kebersamaan. Tapi yakinlah, kenangan kita akan selalu terjaga, dalam cinta.

Good bye, perempuan angin


Labels:

 
posted by ar-marsha at 8:05 AM | 2 comments