Saturday, April 21, 2007

Senin, 22 Januari 2007

Rupanya memang berat hidup itu, utamanya jika kita semakin beranjak dewasa. Tanggung jawab bertambah seiring usia, begitulah ayah saya pernah berbicara di suatu sore. Neverland memang hanyalah semua legenda. Kita tak akan pernah selamanya menjadi anak-anak, yang berlari bebas di sore hari selepas sekolah. Kita tak bisa lagi mengandalkan mereka yang lebih tua, karena kita sendiri rupanya sudah cukup tua untuk bisa diandalkan. Uang tidak lagi datang dengan sendirinya, tapi harus diperjuangkan dengan segenap tenaga, perasan keringat, bahkan tak jarang harus menumpahkan darah.

Terus terang saja, saya masih sering berkhayal memiliki harta demikian banyaknya sampai-sampai saya tidak perlu bekerja seumur hidup saya. Semua yang tersisa dari umur saya yang masih ada tinggallah membangun sebuah keluarga, memiliki anak-anak yang menyenangkan, memenuhi semua impian, dan mati dalam ketenangan. Mimpi ini menurut saya sah-sah saja. Toh tak ada orang lain yang saya rugikan dengan mimpi ini. Lagipula mimpi itu gratis, satu-satunya mungkin yang tak perlu saya bayar di dunia ini. Lagipula saya tidak punya cukup dana untuk mencari alternatif hiburan lain. Dan mimpi, untung saja, bisa mengakomodir kebutuhan yang satu ini dengan demikian mudahnya.

Kita mau tidak mau harus berterima kasih pada sejarah yang memberi kita kuliah gratis tentang kehidupan. Seluruh pencapaian-pencapaian besar dalam sejarah hidup manusia merupakan buah dari pohon ambisi. Dan di manakah pohon ini bisa tumbuh? Tidak lain dan tidak bukan, bibit pohon ini hanya bisa tumbuh di lahan-lahan mimpi. Tanah yang disediakan gratis oleh Tuhan, yang sayangnya hanya berani digarap oleh sedikit orang di dunia ini. Itulah kenapa kita hanya bisa mengenal sedikit orang-orang dalam catatan sejarah yang bernyali memenuhi undangan yang disebarkan Tuhan dengan merata ini. Sejarah mencatat hanya sedikit manusia-manusia pemimpi. Apa yang terjadi dengan jutaan manusia lainnya? Buku sejarah bukannya tak cukup kertas untuk mencatat semua nama itu. Kenyataannya adalah mimpi menghinggapi banyak orang, tapi hanya satu dua yang berani benar-benar bergerak. Mereka yang rela berpeluh, memendam keluh kesah, karena mereka tahu bahwa sesuatu telah menanti mereka di ujung perjalanan. Itu adalah buah kehidupan, yang meranum di pohon ambisi, dan tumbuh di lahan-lahan mimpi.

Karena itu lihatlah, telaahlah lebih jauh apakah anda telah memiliki sebuah mimpi untuk diraih, mimpi untuk dikejar. Ingatlah, mimpi adalah bibit hidup anda, benih semua kesuksesan anda. Tanpa mimpi, sebuah pencapaian bukanlah pencapaian, melainkan semata keberuntungan.


Jum’at, 26 January 2007

Semua orang mafhum dengan rangkaian tradisi di awal-awal perkuliahan. OPSPEK, MAPRAM, atau apalah namanya, selalu saja menjadi buah bibir mereka yang baru saja lulus SMU dan segera akan jadi seorang mahasiswa. Di atas kendaraan umum ketika itu saya berjumpa dengan calon mahasiswa lainnya yang dengan segera kami mengobrol akrab. Mungkin karena perasaan yang sama, keawaman tentang apa yang akan segera menimpa beberapa kilometer di depan. Di masa itu memang masih kental budaya kekerasan setiap kali orang-orang ’segar’ memasuki kampus. Seorang senior saya di SMA pernah menceritakan alasan mengapa ia sempat dirawat tiga hari di rumah sakit.

Dan memang apa yang terjadi tidaklah jauh-jauh dari apa yang saya dan teman baru saya itu bayangkan. Begitu sampai saja kami sudah disuruh jongkok, sedikit ’hukuman’ karena rupanya kami datang terlalu cepat satu menit. Dan setelah waktunya tiba, kami disuruh merangkak di bawah susunan kursi yang diatur sedemikian rupa sehingga hanya menyisakan sedikit ruang bawahnya yang hanya cukup dilewati seekor anjing. Apa yang terjadi sesudahnya tidaklah cukup pantas untuk saya ungkapkan. Sekitar sebulan kemudian di sebuah prosesi lanjutan, saya bahkan harus mendekam semalaman di ruang medis akibat ulu hati saya ditendang seseorang. Sampai sekarang pun saya tak pernah tahu kaki siapa yang pernah mendarat di tubuh saya.

Ketika kita memasuki sebuah lingkungan baru, kita memang tak pernah tahu apa yang akan terjadi. Kadang-kadang cukup mendekati apa yang kita harapkan, tapi sering yang muncul adalah kejutan-kejutan. To life is to discover, begitu seorang teman petualang saya pernah berkata. Dunia ini penuh dengan banyak hal yang tidak kita ketahui. Dan sesuatu itu bukannya tak ada, hanya saja kita yang belum menemukannya. Sebelum Marcopolo melakukan penjelajahan, orang-orang Eropa begitu yakin bumi ini adalah bangunan yang datar sedatar sebuah papan. Galileo bahkan sampai dihukum mati gereja hanya karena meyakini hal baru yang sama sekali asing itu. Itulah kenapa Bahasa Inggris menggunakan kata ‘dis-cover’ yang secara literal berarti ‘membuka selubung’. Sesuatu itu seringkali sudah ada, hanya saja kita yang belum menemukannya.


Kamis, 01 Februari 2007

Saya memandang lurus dan teliti pada hujan yang turun. Saya perhatikan, semakin lama awan tebal itu semakin menipis. Hujan pun tidak lagi sederas beberapa menit yang lalu. Tapi udara tetap saja begitu menggigit.

Hmm, sedang apa ya wanita yang satu itu? Lama sudah saya tidak mendengar kabarnya, setidaknya cukup lama sampai membuat malam-malam saya dipenuhi insomnia hanya karena melamunkannya. Dan sore ini, di tengah gemuruh langit dengan sekelumit awan yang menangis, apa yang disebut rindu itu semakin menjadi-jadi.

Dulu, ketika benang-benang kebersamaan itu masih begitu ketat, hujan adalah suasana yang melingkupi hampir semua percakapan kami. Ketika diawali pertemanan di sebuah dusun yang jauh, keterjalinan itu sungguh tidak terduga menjelma keakraban hingga hati kami pun saling terkait dan mengutarakan apa yang disebut oleh anak-anak jaman sekarang sebagai cinta. Tapi itu dulu. Hari ini semuanya masih berlaku untuk saya. Jejak-jejak itu masih menggenangkan hujan di batin saya. Tapi masihkah ia merasakan yang sama?



Jum’at, 23 Februari 2007

Setiap orang punya peta harta karunnya sendiri. Banyak yang sudah membacanya, lalu bergerak mengarungi waktu yang panjang sebelum akhirnya menemukan harta itu dan akhirnya hidup bahagia. Saya mengenal banyak manusia-manusia ”penemu” itu. Beberapa bahkan saya kenal dengan baik. Mereka bercerita, lalu mulai memenuhi benak-benak saya yang nyaris kosong itu dengan bintang-bintang yang berpijar di laut jauh. Malam yang kejam itu mendadak berubah ramah.

Saya menemukan kembali banyak waktu yang hilang di masa lalu hanya dengan mendengarkan kisah-kisah mereka. Waktu yang saya gunakan untuk berkhayal, akumulasi detik ketika saya menyalakan komputer dan menghabiskan berjam-jam melahap sejumlah permainan, bundel-bundel sejarah yang selalu membuat saya menyesal kenapa harus menukarnya dengan ketiadaan pada apa yang seharusnya tercapai hari ini.

Saya seringkali diberitahu, bahwa hidup adalah serangkaian masalah yang dihimpun dengan temali pernafasan. Itu berarti, hidup hanyalah perpindahan dari satu cobaan ke cobaan yang lain. Satu waktu, ujian itu adalah tangis. Tapi di waktu yang lain, kebahagiaan kitalah ujian itu. Tapi apa yang tidak bisa saya terima hari ini adalah, bahwa ternyata dahulu saya tidak pernah benar-benar berusaha. Saya kan tidak bisa sekedar mengatakan, kalau saya hari ini adalah sebuah wujud unrejected destiny, sementara manusia yang lain sampai berdarah-darah sebelum sampai di pelabuhan mimpi.

Saya, terus terang saja, menghabiskan begitu banyak kesempatan dalam hidup hanya untuk menjadi seorang yang fatalis. Hidup ini toh tidak abadi, dan besok mungkin saja saya sudah mati. Lantas apalagi yang tersisa untuk diusahakan? Dunia menjadi rangkaian jalan yang tidak lagi menarik. Tahun-tahun itu adalah serangkaian dark ages, masa yang mungkin paling kelam dalam hidup saya. Saya benar-benar kehilangan arah ke mana layar kehidupan ini harus diarahkan.

Hari ini berarti, besok mati. Saya lantas berpikir sebaliknya. Kalau besok mati, buat apa memberi arti hidup hari in?. Seorang teman menjawab, ”yang mati kan tubuhmu, tapi arti yang kau buat hari ini akan membuatmu dikenang hingga ribuan tahun lagi”. Saya tersenyum saja sambil menjawab, “lantas manfaatnya apa? Saya toh sudah mati. Apa ribuan sanjung puji atas karya kita hari ini akan kita nikmati di liang kubur yang sempit nanti?”

Hah, saya lantas teringat. Hidup sesudah mati. Ya, berita-berita gaib itu lantas kembali menaungi benak saya. Hidup sesudah mati. Hidup yang abadi. Hidup yang bukan untuk berjuang, tapi hanya untuk dinikmati. Saya lantas mengangguk-angguk sendiri. Ya, inilah jawabnya. Karya terbaik kita di dunia ini adalah untuk hidup abadi yang satu ini. Capek-capek menghabiskan seluruh tenaga dan biaya untuk mengejar hidup di dunia hanyalah panggilan mimpi kosong, itulah yang bisa saya simpulkan. Kalau kamu akan pergi ke Bandung, kamu tentu tidak akan mempersiapkan bekal yang sama banyaknya dengan bekal yang kamu persiapkan kalau kamu akan pergi ke Amerika. Dunia ini, berapa lagi sisanya untuk kita? Sepuluh-dua puluh tahun? Lima puluh tahun? Atau malah besok pagi kita sudah dipanggil?

Hakikat fatalis sebenarnya bukanlah hal yang buruk-buruk amat. Analoginya mungkin tepat dengan mengibaratkannya sebagai bumbu rahasia dalam sebuah masakan. Takarannya tepat, dan anda akan menyulap sebuah warung jalanan menjadi rumah makan terlaris di tengah kota. Takarannya berlebih, lihatlah yang terjadi dengan saya. Yah, saya rupanya bukan koki yang cukup handal untuk meramu bumbu hidup ini. Antara fatalis dan takabur, inilah masalah yang akhirnya baru saya mengerti akhir-akhir ini, bahwa kita harus benar-benar mampu memetakannya dengan titik koma yang jelas. Menjadi nrimo dapat menolong anda menghadapi banyak kegentingan tak tersolusikan dalam hidup. Saya kira kita harus mengakui, kita hanya bisa menyelesaikan sedikit saja masalah dalam hidup. Sisanya? Ya, serahkanlah pada konsep nrimo itu. Solusi stok udara buat pernafasan? Jatah umur yang lebih lama agar bisa nimang cucu? Anda tentu tak bisa berkata apa-apa selain pasrah saja.

Ups, saya lupa. Saya belum bercerita, apakah puluhan tahun yang panjang ini sudah membuat saya menemukan ’harta’ saya. Hmm, sayangnya, saya harus menjawab,: belum. Bahkan untuk memiliki petanya saja, saya masih harus mencari di tumpukan lembar sejarah hidup saya yang tak terawat itu. Beberapa buku mendekam lama tak terawat membuat saya merasakan tebalnya debu yang membuat jiwa saya sering batuk. Beberapa hari yang lalu beberapa teman kembali mengabarkan penemuan harta karun mereka, yang memaksa saya memendam cemburu yang dalam, sebelum akhirnya bisa dengan lapang mengucapkan: ”selamat”.



Selasa, 06 Maret 2007

Finally, got to the end...

Hari ada sebuah berita duka. Adik almarhum kakek saya, seorang nenek yang meskipun jarang sekali bertemu tapi saya toh sangat sayang padanya, dikabarkan sedang sekarat. My heart was suddenly in a rush by reading that short message. Yup, inilah hal yang mau nggak mau bakal kita alami juga suatu saat. Thanks to ALLAH for still giving me a chance for a life fulfillment, still even a few time for self-recovery from these darkest world.

………………………….


Tidak banyak yang ingin saya raih di dunia ini

Hanyalah sebuah pikiran sederhana tentang hidup bahagia, tenang, kelengangan di masa tua

Saya tidak ingin jadi profesor

Saya tidak ingin jadi seorang dokter

Saya enggan meracau tentang bencana, politik dan busung lapar

Saya ingin kesederhanaan itu memeluk saya

Membawa saya jauh ke dasar samudera

Mengembangkan insang dan mulai bernafas di hela kedalaman

Hanya saya...

Dan semua cinta yang setia menyertai saya...


Ar-marsha

April 5th, 2007


Minggu, 08 April 2007

Selalu saja ada perasaan aneh ketika kita akan melakukan sesuatu untuk pertama kali. Yah, pertama kali ke satu tempat yang asing bisa bikin kamu tersesat. Lantas apa jadinya kalau yang pertama kali itu adalah seporsi makanan?

Sejak dulu saya selalu didoktrin dengan ketidaksukaan luar biasa ayah saya pada makanan khas daerah Jeneponto yang bernama coto kuda. Tentang bagaimana selera makan ayah saya berubah 180 derajat ke arah hendak muntah, adalah kisah yang nyaris selalu beliau ceritakan setiap kali mendengar kata ”kuda”. Tapi rupanya rasa penasaran mengalahkan segalanya. Semangkuk daging berkuah, yang meskipun tidak lagi hangat, tersaji tepat di hadapan saya ketika saya sedang dalam kondisi lapar-laparnya. Jadilah, sesendok, dua sendok, sampai akhirnya mangkuk itu hanya terisi sisa-sisa kuah yang tak sanggup lagi saya masukkan ke perut.

Rasanya? Yaaaah, nothing so special. Terlalu biasa untuk dikatakan luar biasa. Dan juga tidak ada rasa jijik yang digambarkan demikian ilustratif oleh ayah saya. Hmm, ini mengingatkan saya pada perkataan Bondan Winarno, si biangnya ma’nyus, bahwa selera memang urusan individual. Saya sendiri tidak bisa membayangkan bagaimana orang-orang Medan (ini katanya, lho..) menyantap anjing. ”Nganjing yuk!” istilah yang dipopulerkan kakak saya, mengajak saya menyantap anjing bakar, yang tentu saja hanya sebuah kelakar.


Kamis, 12 April 2007

Tidakkah kau tahu?

Seringkali tangismu

Justru jatuh dari mataku

Di lantun yang jauh mata mengerjap

Lalu hadirmu hilang sekejap





Labels:

 
posted by ar-marsha at 9:52 AM |


0 Comments: