Wednesday, October 17, 2007

Lebaran datang lagi. Dan selalu dengan slogan yang sama, masing-masing stasiun tv rame-rame membuat ucapan selamat lebaran. Rata-rata pake kata “kemenangan”, atau paling tidak “kembali suci”. Lalu kebiasaan ini menular pula pada kantor-kantor, sekolah-sekolah, sampai ke mall-mall di jantung kota. Bahkan tidak ketinggalan, menurut pantauan saya, gereja-gereja pun beramai-ramai membentangkan spanduk yang berisi ucapan selamat lebaran. Semuanya berusaha menunjukkan rasa antusias menyambut hari besar kaum muslimin yang datang setahun sekali itu.
Kemenangan. Sebuah kata yang menunjukkan titik kulminasi jenjang-jenjang pengorbanan yang di ujung perjalanan berbuah hasil yang membahagiakan. Seperti sekelompok serdadu yang pulang dari medan perang dengan tubuh penuh luka, tapi wajah mereka berbinar bahagia karena satu kata: kemenangan. Atau sekumpulan mahasiswa yang sujud syukur setelah berhasil menaklukkan hati dosen penguji untuk mengizinkan mereka jadi sarjana. Ya, semua pengorbanan sejatinya dilakukan karena keinginan meraih satu kata itu. Kemenangan.
Dalam satu kesempatan dalam perjalanan pulang dari satu tempat di malam takbiran, saya menyaksikan riuhnya ”pesta kemenangan” itu. Gerombolan remaja laki-laki dan perempuan yang berbaur riuh mengisi jalan, diiringi bincang-bincang seputar pacaran dan cinta yang miskin makna, lalu sekumpulan anak-anak yang sibuk membuat kesal para orang tua dengan ledakan-ledakan petasan yang bikin jantung mau copot rasanya, adalah gambaran umum bagaimana kebanyakan masyarakat Indonesia merayakan datangnya 1 Syawal. Tidak ada tangisan karena perginya penggalan masa tercinta yang bernama Ramadhan, juga tak ada rasa khawatir apakah setahun kemudian masih diberi kesempatan untuk bersua. Hari-hari menahan itu sudah berlalu, sekarang waktunya pelampiasan. Tak ada lagi puasa yang menghambat pacaran, tak ada lagi malam-malam tarawih yang mengganggu waktu kencan. Pendek kata, sekarang waktunya pesta!
Lebaran hari ini adalah salah satu masa di mana jumlah manusia yang ge-er dengan janji kemenangan itu melonjak jumlahnya. Termasuk kita-kita tentu saja, yang sering lupa dan khilaf kalau tak ada kemenangan tanpa pengorbanan. Lantas bertanyalah, telah sedemikian hebatkah pengorbanan kita sepanjang Ramadhan, sampai-sampai kita merasa pantas bergembira selepas Ramadhan.
Seorang sahabat Rasulullah pernah kedapatan sedang menangis selepas ifthar (berbuka puasa) yang terakhir di penghujung Ramadhan. Ternyata ia demikian enggan Ramadhan itu berlari meninggalkannya, seolah-olah ia tahu pasti Ramadhan berikutnya ia sudah mati. Dengan linangan air mata dihadapkannya wajah ke langit, lalu memohon sejadi-jadinya agar Allah SWT memanjangkan umurnya agar diberi kesempatan bertemu lagi dengan sang Ramadhan tercinta.

Kitakah prajurit-prajurit Iman
yang terpanggil memenuhi seruan
sebuah bulan
sungai kasih sayang Ar-Rahman
meneguk remah-remah cinta sepanjang malam
dan siang dengan sejuk ayat suci Al-Qur’an

Ataukah hanya sekelompok musang
yang bermain-main dengan kesempatan
hingga bulan mulia bermuram durja
menenggak sunyi hamba yang terlupa

Ramadhan itu sudah pergi, dengan sekelumit cerita diri kita yang hanya Allah SWT dan kita saja yang tahu. Semoga yang Maha Rahman masih berkenan memberi kita kesempatan merajut benang-benang emas itu di tahun-tahun yang akan datang.

Tapi satu pesan, Kawan. Merasa menang? Jangan GE-ER dulu!


Labels:

 
posted by ar-marsha at 12:11 AM |


0 Comments: