Saturday, September 8, 2007


Ternyata matahari membakar begitu teriknya di siang kehidupan kita. Aku sungguh tak bisa menyangkal ini. Rupanya aku tak bisa lagi berpayung di rasa sungkan yang teduh, atau pun rentetan memoar buram yang kunjung melepuh. Semuanya terjegal waktu. Kau mungkin di sampingku. Tapi rentetan detik yang pergi satu demi satu membawa serta semua yang indah tentang kita, semua perasaan kita.

Pantaskah aku menyiksamu dengan semua diriku? Kita melalui begitu banyak cerita yang lalu usang menua. Cerita kita tidak lagi semuda dulu, ketika puluhan harapan beterbangan dan kau bernyanyi riang di sisiku. Tidakkah kau menyadari ini, Istriku? Aku bukan lagi priamu sedasawarsa lalu, dan senyumku bukan lagi milikmu. Kau begitu bergemuruh dengan lautan mimpi yang kini kau raih. Kau demikian ceria dilamur hidup bahagia. Ya, kau sungguh bahagia. Tapi kau sungguh alpa, dengan sebuah hati yang lupa kau bawa.

Bangunan tinggi menusuk langit ini seperti menusuk hatiku. Kau menemukan mimpimu, dan aku menemukan hatiku. Hatiku yang beku tertiup anginmu, hidup sedasawarsaku yang tertinggal oleh mimpimu. Mendadak bersamanya, hujan lalu deras menerpa gurun, menumbuhkan lagi semua gairah manusiaku yang nyaris ku lupa apakah ia pernah benar-benar ada. Istriku, kau mungkin lupa, bahwa gairah manusia adalah letupan-letupan yang butuh persinggahan. Kau mengajakku terus berlari, sementara jiwaku semakin lemah terengah-engah. Kau tak pernah membiarkanku singgah, menepis duka-duka dan menuangkanku segelas cinta untuk kureguk. Segalanya adalah tentangmu, semua tentang mimpimu.

Dan waktu menggiringku ke pertemuan yang seperti terlalu lambat terjadi. Mengapa bukan dia yang kudapati sedasawarsa lalu? Mengapa semua seperti tercipta untuk menggoyahkanku hari ini, hari ketika akhirnya aku temukan lagi sebuah keteduhan yang kurasa sejati, dan jiwaku akhirnya tak merasa penat lagi? Aku memandang lurus ke matamu, dan tak kunjung kudapati sedikit yang kuingini. Aku tertatih, saat-saat yang rapuh ketika jiwanya datang merengkuhku, dan hilanglah semua rasa haus ini.

”Dulu aku demikian mencintaimu. Tapi detik ini..., aku sungguh tak tahu...”

Kukatakan sepenggal resah ini kepada lelapmu yang dalam itu. Kau tetidur segera di awal malam, menyisakan malamku yang dipenuhi keentahan. Aku memandang nanar ke langit gelap yang jelaga. Hembus dingin mencibir dari celah jendela, membeningkan dingin yang tertawa culas, dan denting hening yang kian membias. Ooohh..., hidupku yang sepi. Sungguh tidak sepantasnya pria sepertiku merasakan ini. Ke mana kau, Istriku? Ke mana cintamu di saat-saat jatuh hidupku?


to be continued...


 
posted by ar-marsha at 7:59 AM |


0 Comments: