Thursday, June 21, 2007

Kalau orang lain secara berkala selalu meluangkan waktu untuk pergi ke tukang cukur, maka saya sangat tidak seperti itu. Selain rasa tidak rela mengeluarkan 8000 perak dari kantong, saya juga tidak terlalu senang kepala saya dipegang-pegang orang asing. Dan ini bukan saya saja. Semua penghuni rumah saya mengalami ‘penyakit’ yang serupa, mulai dari Bapa’ saya sampai adik saya yang paling kecil. Karenanya, kalau tidak sedang kepepet benar, kami sekeluarga selalu mencukur rambut di rumah saja. Efisien dalam segala hal, hehehe

Nah, Sabtu yang lalu acara cukuran itu berlangsung lagi di rumah saya tercinta. Awalnya tidak ada niatan. Jojon yang kebetulan merasa rambut di kepalanya sudah terlalu tebal, dan Mama’ yang kebetulan juga sedang tidak ada kerjaan, maka akhirnya diputuskan untuk mengubah ruang tamu[*] menjadi arena pembantaian massal rambut-rambut durjana. Melihat gelagat aneh dengan tangan Mama’ menggenggam sisir dan gunting, saya yang sedang dipusingkan dengan masalah ketombe yang merajalale§ (hehehe) cepat-cepat mengambil tempat di dekat beliau, diikuti Bapa’ yang juga sudah mengalami kepala gatal2 berkepanjangan. Mama’ yang sudah dengan jurus-jurus andalan membabat rambut Jojon, kontan protes dengan “antrian sepihak” ini. Tapi apa daya, Mama’ akhirnya setuju juga mencukur kami berdua. Saya, yang beberapa hari ini begitu sering ngidam ingin memendekkan rambut, akhirnya bisa bernafas lega.

Lets skip the cukuran of Jojon…

Dan tibalah waktu saya. Segera setelah bertelanjang dada dan menaburkan bedak ke sekujur badan, saya langsung mengambil tempat di depan Mama’. Dan … “kress.. kress..” mulailah gunting itu bekerja. Cukur sana-sini, ditemani alunan suling sunda dari 3250-nya si Jojon.

Berikut adalah kronologis pencukuran:

- Bagian pertama, areal belakang kepala. Pada sesi ini saya masih bisa ketawa-ketawi. Maklum, leher saya lumayan sensitive. Sentuhan besi gunting yang dingin itu bikin saya kegelian sendiri.





- Tahap selanjutnya, mulai tercium ada yang tidak beres. Guntingan-guntingan terasa tidak seperti biasanya. Saya sedikit komplen, tapi Mama’ memaksa saya diam.








- Tahap berikutnya, semakin parah. Guntingan-guntingan mulai sering salah kaprah. Bukannya menggunting, teknik pencukuran ini lebih pas disebut ”teknik mencabut”. Beberapa kali saya ber adaw-adaw ria. Beberapa helai rambut dicabut dengan paksa.





- Tahap yang semakin parah. Rambut di sekitar telinga adalah area yang membutuhkan manuver tingkat tinggi. Beberapa kali nyaris guntingan-guntingan itu membuat saya kehilangan daun telinga. Tapi mau apalagi, saya hanya bisa berpasrah diri dan berdoa pada Tuhan yang Maha Esa agar tidak kehilangan daun telinga.



- Miss comunication. Gaya rambut yang saya inginkan berbeda dengan model yang diproduksi Mama’. Saya meraung-raung, menangis tak menentu (heleh...). Apa boleh buat, terpaksalah saya harus mengenang masa-masa menjadi maba. Nyaris jadi tuyul bo’!




And the final result...,heheheheh



Demikianlah sodara-sodara, kronologis pencukuran saya yang disampaikan dengan lugas dan tidak mengada-ada. Kalo kamu termasuk manusia pedit bin koret alias pelitnya ngga ketulungan, mungkin patut dicoba menghentikan kebiasaan pergi ke tukang cukur, apalagi ke salon. Selain menghindari kemungkinan bertemu BANTALAN (banci taman lawang) nyasar, kamu dijamin bisa menghemat isi dompet. Ingat, practice makes perfect. Mintalah ibu kalian untuk sesekali mencukur kucing, anjing, cicak (?), atau binatang-binatang terdekat yang bisa ditemui. Kalo tidak ada yang meninggal (binatangnya, bukan si banci), maka itu pertanda teknik cukuran beliau sudah cukup reliable dan dapat diandalkan untuk mengerjakan kepala kamu, hehehe...

Selamat mencoba...!!!


[*] Kebiasaan buruk. Ga bisa dibayangkan kalo sementara asyik-asyik cukuran tiba-tiba datang tamu bergerombolan. Tengsin lah hay… J

§ Lale is a Makassar term for… cabul…

Labels:

 
posted by ar-marsha at 9:17 AM |


0 Comments: