Sunday, September 23, 2007

Demi dluha
Dan malam apabila telah sunyi
Rabb-mu tidak meninggalkan engkau dan tidak pula membencimu
Dan sungguh, yang kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang permulaan
Dan sungguh, kelak Rabb-mu pasti memberikan karunia-Nya padamu, hingga engkau terpuaskan
Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?
Dan Dia mendapatimu kebingungan, lalu dia memberimu petunjuk?
Dan Dia mendapatimu dalam kekurangan, lalu Dia mencukupimu?



Labels:

 
posted by ar-marsha at 12:14 PM | 0 comments
Saturday, September 8, 2007


Ternyata matahari membakar begitu teriknya di siang kehidupan kita. Aku sungguh tak bisa menyangkal ini. Rupanya aku tak bisa lagi berpayung di rasa sungkan yang teduh, atau pun rentetan memoar buram yang kunjung melepuh. Semuanya terjegal waktu. Kau mungkin di sampingku. Tapi rentetan detik yang pergi satu demi satu membawa serta semua yang indah tentang kita, semua perasaan kita.

Pantaskah aku menyiksamu dengan semua diriku? Kita melalui begitu banyak cerita yang lalu usang menua. Cerita kita tidak lagi semuda dulu, ketika puluhan harapan beterbangan dan kau bernyanyi riang di sisiku. Tidakkah kau menyadari ini, Istriku? Aku bukan lagi priamu sedasawarsa lalu, dan senyumku bukan lagi milikmu. Kau begitu bergemuruh dengan lautan mimpi yang kini kau raih. Kau demikian ceria dilamur hidup bahagia. Ya, kau sungguh bahagia. Tapi kau sungguh alpa, dengan sebuah hati yang lupa kau bawa.

Bangunan tinggi menusuk langit ini seperti menusuk hatiku. Kau menemukan mimpimu, dan aku menemukan hatiku. Hatiku yang beku tertiup anginmu, hidup sedasawarsaku yang tertinggal oleh mimpimu. Mendadak bersamanya, hujan lalu deras menerpa gurun, menumbuhkan lagi semua gairah manusiaku yang nyaris ku lupa apakah ia pernah benar-benar ada. Istriku, kau mungkin lupa, bahwa gairah manusia adalah letupan-letupan yang butuh persinggahan. Kau mengajakku terus berlari, sementara jiwaku semakin lemah terengah-engah. Kau tak pernah membiarkanku singgah, menepis duka-duka dan menuangkanku segelas cinta untuk kureguk. Segalanya adalah tentangmu, semua tentang mimpimu.

Dan waktu menggiringku ke pertemuan yang seperti terlalu lambat terjadi. Mengapa bukan dia yang kudapati sedasawarsa lalu? Mengapa semua seperti tercipta untuk menggoyahkanku hari ini, hari ketika akhirnya aku temukan lagi sebuah keteduhan yang kurasa sejati, dan jiwaku akhirnya tak merasa penat lagi? Aku memandang lurus ke matamu, dan tak kunjung kudapati sedikit yang kuingini. Aku tertatih, saat-saat yang rapuh ketika jiwanya datang merengkuhku, dan hilanglah semua rasa haus ini.

”Dulu aku demikian mencintaimu. Tapi detik ini..., aku sungguh tak tahu...”

Kukatakan sepenggal resah ini kepada lelapmu yang dalam itu. Kau tetidur segera di awal malam, menyisakan malamku yang dipenuhi keentahan. Aku memandang nanar ke langit gelap yang jelaga. Hembus dingin mencibir dari celah jendela, membeningkan dingin yang tertawa culas, dan denting hening yang kian membias. Ooohh..., hidupku yang sepi. Sungguh tidak sepantasnya pria sepertiku merasakan ini. Ke mana kau, Istriku? Ke mana cintamu di saat-saat jatuh hidupku?


to be continued...


 
posted by ar-marsha at 7:59 AM | 0 comments
Wednesday, September 5, 2007

A Beautiful Mind
Pernahkah kamu melihat ke awan dan melihatnya bergerak membentuk pola-pola tertentu? Ini pasti sering dialami oleh banyak orang. Saya juga sering mengalaminya, hanya saja dengan kadar yang lebih parah. Segera setelah sebuah pola terbentuk, apa yang terjadi kemudian adalah saya akan segera membayangkan pola-pola itu saling berinteraksi satu sama lain. Banyak sekali ragam polanya, tapi yang menjadi favorit saya adalah pola yang saya lihat dari dalam angkot sepulang sekolah sewaktu saya masih SMP. Ada gumpalan awan besar yang membentuk siluet wajah seorang wanita bergerak mengecup awan lain yang berbentuk wajah bocah lelaki. Dan sampai hari ini, saya masih sering mengingat itu.
Tapi saya tidak bisa menyangkal kalau inilah keanehan saya yang paling saya sukai. Bermain dengan pikiran itu benar-benar menyenangkan, kau tidak akan mendapati seseorang pun yang bisa mengganggumu. Somethings free in this expensive world, hehehe

Gareth Gates, Imam Mahdi, etc...
Yang satu penyanyi lepasan kontes bakat, yang satu lagi seorang tokoh penyelamat umat manusia di akhir zaman. Apa persamaan dari kedua tokoh itu? Yup, kedua-duanya menderita apa yang di dunia medis disebut sebagai stuttering, gagap. Sebuah penyakit yang bisa dikarenakan tekanan psikologis, tapi penelitian ilmiah menerangkan terlibatnya faktor-faktor fisiologis semacam kelainan syaraf dan gen. Sewaktu TK saya pernah mengalami kecelakaan hebat yang mengakibatkan kelainan di syaraf saya. Pengaruhnya sendiri baru terasa saat saya menginjak kelas tiga SD. Saya mulai sulit berbicara senormal teman-teman saya, satu hal yang menyulut rentetan rasa tidak pede saat saya harus tampil di depan umum. Kontraksi rumit dan hentakan nafas yang sulit digambarkan sering terjadi saat saya ingin mengucapkan serangkaian kalimat. Tapi anehnya, ini sangat tidak berlaku kalau saya sedang menyanyi. Beberapa waktu lalu saya memang menekuni profesi ini dan tidak sekalipun nyanyian saya terpotong-potong. Yang ada saya malah sangat enjoy dan merasakan nikmatnya dipandang begitu banyak mata, yang untungnya, terlihat terhibur dengan suara saya. Hmm, seandainya setiap percakapan di dunia ini adalah nyanyian :(

Lonely, i still lonely, i have nobody, on my own... (menyanyi)
Saya ingat sekali pertama dengar lagu ini di sebuah warnet jam 2 subuh sewaktu saya masih hobi-hobinya begadang main internet. Lagu ini memang terdengar jenaka, dan saya tentu saja tertawa.
Tapi jauh di dalam sana hati saya sebenarnya tersentil-sentil. Sejak peristiwa tragis yang menimpa seseorang yang dekat di awal masa SMA saya, saya memang mendadak berubah jadi manusia yang kuper sekuper-kupernya. Saya tidak pernah lagi punya seseorang yang benar-benar tahu saya sampai di dalam-dalamnya. Ya, setelah seseorang itu memang tidak pernah lagi ada orang lain yang benar-benar memahami persis apa yang sesungguhnya ada di dalam jiwa saya, even my sohib and my family.
Akibatnya, saya lebih sering menghabiskan hari-hari saya, ya, segalanya dinikmati sendiri. Saya sering nongkrong sendiri memandang danau di kampus, menghabiskan waktu memandang lalu-lalang manusia di jalan-jalan, dan sesekali menjambangi bibir pantai untuk tepekur beberapa saat menanti lunturnya matahari.
Rasanya memang tidak berlebihan kalau saya menamai diri saya lelaki sunyi.

Oedypus Complex – Historic and Current
Ya ya ya, another weird thing of me. Saya tuh ya, ga tau kenapa, selalu saja jatuh cinta dengan lawan jenis yang usianya di atas saya. Wanita-wanita yang saya memendam perasaan kepadanya tidak pernah berasal dari mereka yang usianya lebih muda. Cinta pertama saya yang sudah lepas dari kategori cinta monyet adalah cinta di ujung masa SMP, meskipun dengan beda usia yang hanya satu hari. Lalu di awal kuliah dengan beda usia 5 bulan, kemudian meningkat 10 bulan, lalu semakin berjarak sampai ke angka satu setengah tahun. Baru-baru ini agak menurun sedikit lah, seseorang yang I had a crushed on her, jaraknya 7 bulan. Nah, dengan fakta-fakta ini, saya memang tidak bisa menyangkal kalo saya memang termasuk kategori brondong, hehehe. Mungkin karena saya – menurut Sultra – anak manja kali yaaaa.

Self Conversatior
Saya senang sekali duduk di depan cermin. Itu sudah kebiasaan dari kecil. Dan sejak saya berubah kuper, kebiasaan ini semakin menjadi-jadi. Kalau sepanjang hari saya merasa berpenampilan begitu buruk dengan panas yang menyengat dan keringat yang menyeruak di mana-mana, maka kamar ketika saya pulang ke rumah dan selesai membersihkan diri mendadak berubah menjadi tempat berlangsungnya obrolan seru, antara saya dan... saya.
Semua hal yang memberatkan pikiran tumpah ruah di depan cermin. Bayangan saya adalah sosok yang paling sabar yang selalu setia mendengarkan apa saja keluhan saya. Tapi dia juga sosok yang paling menjengkelkan, selalu bicara saat saya bicara dan diam saat saya diam.
Tuhan, apakah saya sudah gila?

Pengingat yang Lumayan Baik
Tidak untuk setiap kejadian tentu saja. Dan juga tidak setiap orang. Tapi secara umum saya adalah seorang pengingat yang baik. Saya ingat hampir semua jadwal janjian, dan saya tidak pernah menggunakan alat bantu pengingat semacam agenda atau hape untuk sekedar mengingat pekan ini harus melakukan apa saja. Saya akui memang sempat beberapa kali kecolongan, tapi jumlahnya tidak signifikan.
Nah, kalau untuk masalah ingatan yang sifatnya sejarah (maksudnya yang rentang waktunya jauh ke belakang), saya bisa disebut pengingat berkualifikasi medium. Saya ingat memori-memori khusus, tentang orang-orang yang spesial, dan kenangan seperti ini memang sulit untuk mati. Bahkan orang yang sebenarnya tidak saya kenal pun bisa saya ingat peristiwanya dengan baik. Beberapa di antaranya bahkan menjadi teman dekat.
Tapi menjadi pengingat yang baik bukannya tanpa resiko. Seringkali kita harus makan hati karena mengingat sebuah janji dengan terlalu baik. Saya sempat mengalami ini beberapa kali, saat kita telah berupaya sepenuh hati memenuhi sebuah janji, tapi orang lain dengan sekenanya berkata ”maaf, saya lupa”. Sungguh, rasanya sangat ”lezat”!

apa lagi yaa?
ask my friend!


 
posted by ar-marsha at 7:57 AM | 0 comments